Di tengah semangat pemerataan akses pendidikan untuk semua, masih ada ironi yang menyayat hati. SLBN A Pajajaran, sebuah sekolah luar biasa yang menjadi rumah belajar bagi siswa tunanetra di Bandung, kini berdiri di ujung ketidakpastian. Ancaman penggusuran tanpa solusi konkret menjadi bayang-bayang kelam bagi dunia pendidikan inklusif di Indonesia.
Baca juga:
Ketika Status Lahan Menjadi Penghalang Mimpi
Sekolah ini telah menjadi bagian dari sejarah panjang pendidikan disabilitas sejak awal abad ke-20. Namun, meski telah melahirkan ribuan lulusan yang tangguh, nasibnya kini justru digantung oleh persoalan legalitas lahan. Sertifikasi atas nama pihak lain menjadi titik lemah yang dimanfaatkan untuk memudarkan eksistensinya. Tanpa kepastian tempat, bagaimana bisa mereka melanjutkan perjuangan mencerdaskan anak bangsa yang terpinggirkan?
Dampak Nyata: Belajar Dalam Ancaman
Siswa dan guru tak hanya belajar dengan keterbatasan alat bantu, tetapi juga harus berjuang di ruang kelas yang rusak dan tak layak. Atap yang rapuh, lantai yang retak, hingga dinding yang nyaris roboh menjadi saksi perjuangan mereka. Bukan hanya fasilitas yang minim, tapi juga rasa aman yang sirna setiap kali ancaman penggusuran muncul.
-
Bangunan sekolah mengalami kerusakan berat, tapi renovasi terhambat status lahan
-
Siswa terpaksa belajar dalam kondisi yang membahayakan keselamatan
-
Dukungan renovasi yang ada belum menjawab masalah utama: legalitas tanah
-
Pihak sekolah menghadapi tekanan dari pihak luar untuk segera angkat kaki
-
Tidak ada solusi alternatif yang jelas bagi pemindahan atau relokasi sekolah
-
Pemerintah daerah dan pusat belum mencapai kesepakatan yang berpihak pada siswa
-
Pendidikan inklusif menjadi korban tarik-menarik kepentingan administratif
Harapan Tak Boleh Padam
Meski diterpa badai, para guru dan siswa di SLBN A Pajajaran tetap menghidupkan semangat belajar. Mereka tak sekadar menulis huruf Braille atau menghitung angka, tapi juga belajar bertahan di tengah ancaman. Pendidikan sejatinya bukan hanya tentang ruang, tapi tentang keberpihakan. Dan dalam kasus ini, keberpihakan itulah yang sedang diuji: apakah kita benar-benar memperjuangkan hak semua anak untuk belajar, atau hanya mengutamakan urusan birokrasi?
SLBN A Pajajaran adalah simbol nyata dari perjuangan pendidikan inklusif. Namun simbol itu kini diguncang ketidakpastian. Jika pendidikan adalah hak, maka negara wajib menjaganya tanpa syarat. Ancaman penggusuran tanpa solusi adalah pengingkaran terhadap semangat kesetaraan. Kini saatnya berpihak: bukan pada kepentingan administratif, tetapi pada masa depan anak-anak yang tak pernah lelah belajar dalam gelap untuk mencari cahaya.